Cermin

s3700033.JPG

 

Pagi ini aku terbangun dengan perasaan sedikit kecewa. Hari ini umurku dengan syah berkurang setahun lagi. Walaupun aku tidak tahu entah sampai kapan diijinkan menikmati hidup, rasanya sedikit merinding ketika aku sadar kematian sudah diambang pintu. Belum puas rasanya menikmati seluruh hasil jerih payahku selama 69 tahun ini. Perusahaan multikarya yang aku kembangkan dari sekedar kios tepi jalan rasanya masih bisa aku lebarkan lagi sayap-sayapnya. Keluarga besarku rasanya masih sangat membutuhkanku sebagai seorang eyang, ayah dan suami. Hampir seluruh mimpiku berhasil terwujud tapi bukannya selesai sampai disitu, mimpi-mimpi berikutnya bermunculan. Sekarang di pagi hari ini, aku sadar sepenuhnya bahwa umurku sudah 70 tahun tapi semangatku masih seperti seorang jejaka yang sedang berusaha memikat gadis idamannya.

 

Aku bangkit dari tempat tidurku dengan gontai. Sandal kulit yang tergeletak di lantai kupakai sekenanya saja. Melangkah gontai aku menuju kamar kecil. Cukup lama juga aku berjalan mengingat tenagaku yang sudah melemah dan ukuran kamarku yang amat sangat bohong kalau dibilang kecil, sebelum akhirnya aku berhasil menyentuh gagang pintu kamar mandi yang terbuat dari perak murni. Aku putar perlahan dan dengan sedikit dorongan pintu ini terbuka juga. Harum pewangi spesial kamar mandi menyeruak menusuk hidungku. Pewangi ini bahkan lebih wangi dari seribu tangkai bunga mawar yang sedang merekah. Kemilau cahaya putih cemerlang sejenak menyilaukan mataku dan ketika mataku sudah bisa diajak kompromi, sosok diriku terpampang jelas di cermin wastafel. Kalau sudah begini tak bisa kupungkiri kalau aku memang sejatinya sudah tua renta. Wajahku sudah mutlak dipenuhi keriput dan berdiriku pun sudah tak tegak lagi. Rambut yang walaupun masih lebat di kepala pun sepenuhnya berwarna uban. Seketika ku coba menghibur diri.

 

„Tenang, Pak Tua. Yang penting pikiranmu masih sejernih air. Otakmu tak kalah encer dari juara dunia catur dari Rusia itu. Kepandaianmu masih tak ada tandingannya.” Lirihku sambil membuka keran air hangat, membasahi tanganku dan kemudian mengusapkan airnya di wajah. Hangat dan segar rasanya. Semangat hidupku meninggi. Aku masih hidup dan itu yang paling penting.

 

Apa yang aku lirihkan adalah kenyataan. Aku dianugerahi otak yang sangat cemerlang. Semua orang disekelilingku mengakuinya. Buktinya sudah amat sangat jelas di mata mereka. Bagi mereka yang mengenalku sejak aku berjualan rokok di sebuah kios kecil tepi jalan sampai akhirnya memimpin sebuah perusahaan multikarya yang sejak beberapa tahun yang lalu go-international, aku adalah seorang jenius. Setiap detail aku perhatikan, setiap strategi aku matangkan, setiap akal bulus aku lancarkan, semuanya seperti sudah mendarah daging. Lebih dari sekedar bakat alam. Sekarang hampir semua orang mengenalku dan begitu sebaliknya. Yang membuat orang hormat dan kagum kepadaku adalah karena aku tidak pernah melupakan setiap orang yang aku kenal. Entah itu pejabat tinggi atau office boy terbaru di kantor cabang. Aku selalu ingat setiap nama dan setiap wajah. Ini resep suksesku. Persahabatan, pertemanan, relasi atau apalah namanya di dunia bisnis adalah yang terpenting. Tapi tidak cukup sampai di situ saja, intinya adalah kamu bisa memanfaatkannya atau tidak. Menggerakkan setiap sumber daya dan jaringan yang bisa kamu kendalikan untuk mencari keuntungan. Sampai saat ini sudah sangat terbukti sekali aku bisa dan dengan ini aku sukses. Sangat sangat sukses.

 

Dimulai dari perusahaanku sendiri. Semua karyawan aku tahu namanya bahkan hampir sebagian besar dari mereka aku wawancarai sendiri. Tidak ada yang lewat dari pengamatanku. Di semua cabang perusahaanku setiap aku berkunjung, aku panggil mereka satu persatu dan sekedar berbincang-bincang. Dari sinilah mereka merasa dihargai. Kalau sudah begitu tentunya kerja mereka menjadi sangat bersemangat dan akhirnya menguntungkan perusahaan. Dan kalau sampai ada yang terlupa atau aku tidak ingat siapa namanya, sebagai hukuman buatku akan aku bayar gajinya sepuluh kali lipat. Tapi sampai detik ini, hukuman itu tidak pernah terlaksana. Setiap karyawan mulai dari Si Kardi, satpam di perusahaan cabang Solo sampai Si Mitun, juru masak di perusahaan cabang Bukit Tinggi selalu menerima panggilan ke kantor eksekutifku setiap kali aku berkunjung kesana.

 

Pagi ini tepat jam 10 pagi aku sudah berjanji akan mengunjungi kantor pusatku di Jakarta. Kantor pusat ini sekarang dikelola sendiri oleh anak pertamaku. Gadis namanya. Dia yang sepertinya terlahir untuk mewariskan darah jeniusku. Belum genap tiga puluh tahun usianya namun perusahaan raksasa ini sebenarnya hampir sepenuhnya dibawah kendalinya. Walau tentunya kendalinya adalah kendaliku juga. Tapi aku pikir, walaupun dia tidak punya bapak seperti ku tetap saja dia akan sesukses seperti sekarang ini. Kapasitasnya luar biasa. Cantik, pintar dan professional. Namun sayang keluarbiasaannya itu membuat laki-laki yang akan menjadi pendampingnya haruslah lebih dari luar biasa. Itulah yang menyebabkan Gadis masih tetap gadis sampai sekarang. Sementara anak keduaku laki-laki aku beri nama Arman. Berbeda dengan Gadis, dia tidak begitu tertarik di dunia bisnis. Darah seni ibunya mengalir deras sehingga belum selesai kuliahnya, dia sudah berulang kali mengeluarkan album single yang laris manis di pasaran. Anakku itu sudah jadi idola ABG nomor satu di negeri ini. Tampan dan merdu suaranya, siapa yang tidak terpesona. Dua tahun yang lalu dia kawin muda dan sudah memberiku seorang cucu yang cantik.

 

Selesai aku mandi pagi itu, segera ku pakai kemeja batik dan setelan celana panjang sutra warna hitam serapi dan sesempurna mungkin. Aku harus tampil sebaik mungkin terlebih di hari spesial ini. Hari disaat umurku berkurang dan kematian semakin dekat. Setiap detik tidak boleh kusisakan untuk menunjukkan sisi lemahku. Aku harus tetap sempurna. Rambut yang hampir seluruhnya beruban namun masih tetap lebat aku sisir dengan minyak rambut istimewa yang aku dapat dari hadiah seorang sahabat. Setelah rambut ini terlihat rapi, licin dan mengkilat di cermin, tak banyak yang bisa ku perbuat dengan keriput-keriput ini. Wajah ini tetap terlihat tua. Tapi sekali lagi aku tak menyerah. Aku basuh sekali lagi dengan air dingin wastafel hingga terlihat semakin segar. Sekali, dua kali. Tiga kali aku basuh muka ini hati-hati sekali agar tidak membasahi pakaian yang sudah melekat rapi di badan dan akhirnya aku akhiri dengan mengusapkan handuk putih yang terasa sangat lembut di wajah. Selesai itu segera aku buka pintu kamar perlahan. Sedikit berat pintu kamarku yang terbuat dari kayu Jati pilihan itu namun mungkin karena tenagaku yang melemah.

 

Sembilan puluh sembilan karyawan intiku di kantor pusat berjajar rapi di sepanjang koridor utama menunduk hormat menyambutku. Melangkahku masuk perlahan menyalami mereka satu persatu.

“Pagi Jon, gimana kabarmu? Istrimu sudah melahirkan? Sudah pulang sana lihat anakmu.”

“Selamat pagi, Pak. Iya sudah dua hari yang lalu. Terima kasih, Pak tapi saya masih ingin bekerja hari ini. Sudah 3 hari saya libur.”

“Oh ya sudah kalo gitu. Salam buat istrimu. Hei, Mira selamat pagi? Gimana minggu lalu acara meeting dengan eksekutif muda relasi kita itu? Beres semua? Atau jangan-jangan kamu sudah kencan lagi sama dia?”

“Eh, selamat pagi, Pak. Ah, Bapak bisa saja. Semua beres, Pak. Mereka menyetujui semua persyaratan kita namun sayang, eksekutif mudanya kurang ganteng, Pak.”

“Walah-walah kamu itu. Ya sudah, semuanya saya tunggu satu persatu di ruangan saya.” Ujar saya lantang.

 

Aku berjalan perlahan sambil menatap sekeliling menuju ruangan direksi utama. Semuanya serba canggih dan modern. Dinding putih bersih diselingi lampu-lampu bulat yang menyala otomatis seiring kehadiran orang yang mendekat. Lantai beralas beludru hitam membentang panjang menuju ruangan yang ku tuju. Langit-langit koridor ini terbuat dari kaca yang melipatgandakan tinggi ruangan ini sehingga seakan mencapai langit yang berlapis-lapis. Di ujung koridor, sebuah pintu berukuran sedang berwarna merah terlihat jelas dari sini. Dibalik pintu itu adalah ruangan tempatku bekerja. Aku tersenyum. Tidak ada yang mengucapkan selamat ulang tahun untukku dan itu berarti tidak ada yang tahu bahwa direktur utama mereka ini sudah bertambah tua. Menjelang mati. Bagus itu, pikirku.

 

Aku buka gagang pintu perak yang melekat di pintu berwarna merah ini. Sekejap cahaya putih terang segera menyilaukan mataku. Aroma pewangi ruangan merasuk ke penciumanku. Ah, segarnya. Ditambah dengan kesejukan pendingin ruangan membuatku segera merasa nyaman. Melintas di benakku betapa 32 tahun yang lalu, ruangan ini adalah kantor utama pertama perusahaanku untuk menampung lima orang karyawan yang kumiliki. Kami berenam menempati ruangan yang sama, aku di ujung sana berhadapan langsung dengan pintu ini, sementara yang lain berjejer berhadapan. Kipas angin antik yang lumayan besar tergantung di tengah ruangan dan pohon beringin bonsai di sebelah mejaku menjadi pemanis ruangan ini. Sekarang kipas angin itu masih tetap ditempatnya namun hanya sekedar hiasan semata. Pendingin ruangan otomatis sudah sangat cukup menyamankan ruangan ini. Sementara pohon bonsai itu sudah lama mati, namun tempatnya tergantikan oleh tanaman hias eksotis dari Timur Tengah. Serupa dengan pohon kurma namun sangat-sangat indah. Dan di seluruh ruangan ini bertebaran tanaman-tanaman hias yang sengaja aku atur sedemikian rupa mulai dari Anggrek Bulan pemberian sahabat sampai dengan bunga Kamboja yang saat ini sangat tidak ingin aku lihat. Mengingatkanku pada kematian. Ruangan ini tidak terlalu besar. Ukurannya hanyalah separuh ruang tidurku. Namun dari sinilah aku mengatur seluruh kegiatan bisnis perusahaan raksasaku ini.

 

Ditengah ruangan, sofa merah kesayanganku masih setia disana. Tapi alangkah kagetnya diriku, ketika aku lihat seseorang telah duduk di sofa itu. Aku amati dari balik punggungnya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.

 

“Ehem, selamat pagi. Siapa ya?” Tanyaku hanya untuk memancingnya membalikkan badan dan pastilah aku segera tahu siapa orang tersebut.

“Oh, selamat pagi, Pak. Ini saya. Masak Bapak tidak ingat? Jawabnya lantang sambil berdiri dan menatapku.

 

Sorot matanya tajam. Perawakannya sedang namun tegap dan gagah. Penampilannya rapi dan umurnya pastilah masih sekitar menjelang tiga puluh tahun. Seusia Gadis tampaknya. Wajahnya lumayan kalau tidak bisa dibilang ganteng. Namun yang membuat darahku berdesir adalah pembawaannya yang berkharisma. Entah apa itu namun pasti setiap orang yang bertemu dengannya akan seketika hormat padanya. Sama seperti yang aku miliki. Kalau tidak ingat siapa diriku hampir saja aku bertekuk lutut di hadapannya. Namun anehnya. Aku tidak ingat siapa dia bahkan aku rasa aku tidak mengenalnya. Tentu saja aku tidak mau menyerah untuk mengakuinya.

 

“Oh, tentu saja saya ingat. Kamu karyawan baru itu kan. Gimana kerjamu? Betah disini.” Sahutku dengan penuh keyakinan walau sebenarnya aku seratus persen tetap tidak mengenalnya.

“Baik, Pak.” Jawabnya sambil tersenyum datar. Wajahnya tetap tenang tanpa ada perubahan membuatku tambah penasaran, siapa sebenarnya orang ini. Apa benar karyawan baru? Aku sendiri tidak yakin.

 

Segera kupersilahkan dia duduk kembali di sofa merah itu. Aku taruh tas jinjing yang berisi segala dokumen penting di atas meja kerjaku dan segera aku duduk di hadapannya. Kami berdua berbincang-bincang hampir berjam-jam lamanya. Tentang perusahaan. Tentang urusan pribadinya. Tentang perkembangan ekonomi dunia. Tentang buku sastra terbaru. Tentang hasil pertandingan sepakbola semalam. Segalanya namun tetap saja aku tidak bisa mengorek siapa sebenarnya orang yang ada dihadapanku ini.

 

Menyenangkan sekali berbicara dengannya. Orangnya pandai, gaya bicaranya luwes dan menarik. Sekali dia bercerita pasti akan sangat gampang sekali menarik perhatian lawan bicaranya. Dengan pandainya dia mengarahkan pembicaraan dari satu topik ke topik yang lain. Di satu waktu dia bercerita panjang lebar tapi di waktu yang lain, dia seperti memancingku untuk bercerita panjang lebar dan aku menikmatinya. Dia dapat mengatur skenario pembicaraan dari satu fakta ke fakta yang lain seperti halnya seorang komposer orchestra. Mengalun indah melodi demi melodi membawaku benar-benar menikmati pembicaraan ini seperti menikmati lantunan musik klasik karya Mozart. Dia memiliki aura yang mengingatkanku ketika aku muda dulu. Kepandaian berbicara yang membuatku menjadi pebisnis handal seperti sekarang ini. Baru sekali ini aku bertemu lawan yang sebanding atau malah melebihi aku. Mungkin keahlianku menurun seiring dengan bertambah tua diri ini. Bahkan pembicaraan kami berakhir bukan karena kami kehabisan bahan pembicaraan, melainkan karena dia yang mengakhirinya. Dan sampai detik itu aku tetap tidak mengenalnya.

 

“Baik, Pak, saya mohon pamit dulu. Saya ingin terus bekerja. Tidak ingin mengecewakan Bapak.” Ujarnya dengan penuh percaya diri.

“Ah, iya iya. Kamu yang rajin bekerjanya. Biar gajimu bertambah besar. Sering-seringlah kamu menemui Bapak kalau saya sedang disini. Saya ingin sekali berbincang lagi denganmu. “ Jawabku seperti baru saja terbangun dari mimpi indah. Penasaran sekali rasanya siapa sebenarnya anak muda ini.

“Selamat ulang tahun, Pak. Senang berbincang dengan Bapak apalagi kalau Bapak benar-benar ingat saya.” Sahutnya lagi sambil kemudian menyalamiku erat dan berjalan perlahan ke arah pintu keluar. Sesaat jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Dia tahu kalau hari ini hari ulang tahunku!

“Hei, kamu. Saya ingin ketemu kamu lagi. Besok pagi di ruangan ini.” Perintahku.

Anak muda itu hanya tersenyum dan mengangguk sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.

 

Kecut hatiku menyadari bahwa hari ini aku telah melupakan seseorang. Walaupun kalau benar dia adalah karyawan baru tetap saja aku pasti telah melihat data dirinya beserta fotonya atau bahkan aku telah mewawancarainya. Namun tetap saja tidak ada memori yang keluar dari lemari data di otakku tentang siapa sebenarnya anak muda yang baru saja duduk diahadapanku. Paling tidak namanya atau bahkan apa kerjanya di perusahaanku ini. Sekuat tenaga kuputar otak ini untuk mengingat kembali semua nama karyawan terbaru atau yang paling lama sehingga terlupa olehku. Aku ambil buku arsip dari lemari di sudut ruangan dan segera kutekuni setiap halamannya, mengamati setiap wajah, berharap menjumpai kembali wajah anak muda itu. Dalam hati aku bersumpah akan memberikannya gaji sepuluh kali lipat setelah aku mengetahui jati dirinya. Belum lama aku menekuni buku arsip itu, ketika kemudian seseorang mengetuk pintu ruanganku.

 

“Permisi, Pak.” Sapa seseorang dari balik pintu.

“Masuk!” teriakku dari dalam.

 

Sepanjang hari ini tidak berhenti aku menemui seluruh karyawanku yang silih berganti mengunjungi ruanganku dan semuanya aku kenal kecuali seorang anak muda di pagi hari. Aku pulang dengan perasaan sedikit kecewa karena tidak berhasil mengetahui identitas dirinya. Pasti aku telah melewatkan satu halaman di buku arsipku walaupun buku itu telah aku bolak balik hampir seratus kali rasanya. Tidak sabarku menunggu hari esok untuk kembali menemuinya tapi tentu saja aku tidak akan bertanya langsung kepadanya. Sungkan hati ini rasanya. Malu untuk mengakui bahwa sang jenius ini telah bertambah tua dan mulai pikun tampaknya. Malam itu aku habiskan merenung di tempat tidurku seorang diri. Seperti setiap hari sejak kematian istriku hampir setahun yang lalu. Istriku meninggal tepat seminggu setelah hari ulang tahunku yang ke 69. Hari ini tidak ada lagi yang memberikanku kecupan selamat ulang tahun di malam hari menjelang tidur. Tidak seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya.

 

Keesokan harinya, anak muda itu menepati janjinya. Ketika aku sampai di ruanganku, dia telah duduk di sofa merah itu kembali namun kali ini dia menyadari kedatanganku dan menyambutku dengan hangat. Kembali kami berbincang-bincang tentang segalanya dan kembali dia menyihirku. Berjam-jam dia bercerita begitu menariknya sampai aku terlupa pada tujuanku untuk mencari sedikit petunjuk tentang dirinya. Setiap aku mencoba menanyakan sedikit tentang kehidupan pribadinya, dia akan menjawabnya dengan sesempurna mungkin tanpa menyentuh hal-hal yang membuatku mengenal dirinya. Dia selalu bilang dirinya hanyalah seorang biasa dan hal-hal yang dia ceritakan tentang dirinya adalah hal-hal yang biasa terjadi oleh setiap orang. Atau setidaknya hal-hal tersebut terjadi pada diriku sendiri sehingga membuatku merasa seperti sedang membaca kembali kisah hidupku. Di waktu yang tak terduga, dia kembali mengakhiri pembicaraan dan menghilang. Dan sekali lagi aku memintanya untuk datang kembali keesokan harinya. Aku harus memenuhi janjiku. Aku harus mengenalnya. Sepanjang hari aku habiskan berkeliling kantor untuk mencoba mengetahui dimana ruangannya. Namun sepertinya aku selalu melupakan satu sudut ruangan di kantor pusat ku ini yang besarnya hampir 2 kali lipat lapangan sepakbola dengan sembilan lantai menjulang ke atas. Apalagi dengan tubuhku yang sudah renta ini, hampir mustahil untuk menemukannya. Aku hanya bisa berharap besok dia datang memenuhi panggilanku kembali. Sungguh sangat menyenangkan berbincang dengannya.

 

Empat hari berikutnya hal yang sama terjadi. Anak muda itu selalu datang dan kami selalu berbincang. Dan selama empat hari itu juga usahaku gagal total. Tak pernah aku merasa sepenasaran ini. Namun anehnya, aku menikmatinya. Setiap detik aku habiskan untuk mendengar cerita-ceritanya yang kesemuanya membawaku seperti bernostalgia dengan masa laluku. Anak muda ini benar-benar mirip denganku. Setiap detail cerita yang dia sampaikan seperti mewakili setiap masa dari perjalanan hidupku. Seperti saat dia bercerita tentang permainan petak umpet yang biasa dia lakukan dengan teman sepermainannya di waktu kecil. Caranya menceritakannya mengingatkanku pada saat-saat aku berjuang sekuat tenaga memeras otak menafkahi keluargaku. Membangun kerajaan bisnis ini. Aku tidak tahu apa hubungannya permainan kanak-kanak dengan petualangan bisnisku namun setiap detail yang dia ceritakan seakan merupakan metafor dari kisah hidupku. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana dia melakukannya. Bahkan terkadang aku sampai tertawa terbahak-bahak atau menangis tersedu-sedu dihadapannya. Bukan karena ceritanya yang sangat lucu atau mengharukan namun lebih karena kilasan-kilasan memori masa lalu yang berloncatan di benakku. Kisah hidupku sendiri yang begitu berwarna kini dibawakan kembali dengan indahnya dan begitu hidup oleh seorang anak muda yang sama sekali tidak aku kenal. Sungguh sangat aneh tapi aku menikmatinya.

 

Di hari yang ketujuh, ketika aku sudah pasrah dan bersiap menghentikan usahaku untuk mengetahui identitas dirinya, dia datang menemuiku dengan muka bersedih.

 

“Pak, hari ini aku sangat sedih sekali.” Katanya sambil menatapku dalam. Kedua bola matanya sangat jernih sekali. Baru kali ini aku menyadarinya. Sejernih embun pagi yang bergulir di ujung dedaunan.

“Ada apa, anak muda. Janganlah kamu bersedih. Hari ini aku sudah bersiap untuk mendengar kembali kisah-kisah menarikmu itu. Apa ada yang Bapak bisa bantu?”

“Itu lah yang aku sedihkan, Bapak. Mulai besok aku aku bahkan akan selalu menemani Bapak setiap saat.” Jawabnya lirih.

“Oh ya! Bagus itu!” Sahutku semangat.

“Pasti Gadis yang mengangkatmu jadi asisten pribadiku. Dia pasti tahu kalau aku sangat menyukai dirimu.” Sambungku kembali dengan nada yang semakin bersemangat. Anak gadisku itu memang tahu sekali bagaimana caranya menyenangkanku. Entah dari mana dia tahu, selalu saja apa yang aku inginkan seketika diberikannya. Setelah itu biasanya dia akan menemuiku atau meneleponku menanyakan apakah aku suka dengan “hadiah” yang dia berikan. Dan tentu saja aku jawab dengan lantang, iya Gadisku.

 

Anak muda itu hanya tersenyum. Entah bagaimana dia dapat tersenyum tetap dengan muka yang bersedih. Namun kali ini senyumannya itu sungguh sangat menggetarkan hati. Begitu tulusnya, begitu indahnya, seperti seakan menyatakan rasa sayangnya yang amat sangat kepadaku. Wajahnya yang rupawan seakan bersinar karena senyumannya itu. Baru aku sadari wajahnya adalah wajah yang tersyahdu yang pernah aku lihat. Begitu polos dan murni seperti wajah bayi yang baru lahir. Bibirnya perlahan terbuka seperti rasanya dia sangat enggan untuk mengucapkan sesuatu.

 

“Bapak…Bapak ikut saya, ya.” Ucapnya lembut sekali.

“Sebentar saja…Bapak pejamkan mata.” Selesai dia mengucapkan ini tangannya perlahan terjulur menyentuh kedua tanganku. Seketika itu juga perasaan sejuk terasa dari ujung jemarinya. Badanku terasa sangat ringan sekali. Rasanya aku hampir percaya kalau aku bisa terbang. Aku pejamkan kedua mataku, perlahan, dengan sangat tenangnya sampai semuanya menjadi gelap.

 

“Sabar mbak Gadis. Memang sudah saatnya Bapak untuk pergi meninggalkan kita. Sejak kepergian Ibu, Bapak kelihatannya memang sudah tak kuat. Sekarang saja Bapak pergi tepat di hari ketika Ibu meninggal.” Ujar Arman perlahan sambil mengusap air mata di wajah Gadis.

 

“Iya, Man. Aku tahu itu. Yang aku sesalkan adalah sikapku yang tidak segera menyadari ada yang tidak wajar pada Bapak. Seminggu terakhir ini aku mendapat laporan dari karyawan di kantor pusat kalau Bapak setiap hari selalu berbicara sendiri di depan cermin besar di ruangannya. Aku pikir itu biasa dan memang itu yang Bapak sering lakukan di setiap pagi di kamarnya semenjak Ibu tiada. Dan karena aku tahu kebiasaan itu pulalah aku yang menyuruh orang untuk menaruh cermin besar di depan sofa merah kesayangannya. Sebagai hadiah ulang tahunnya. Kalau saja aku tahu, cermin itu yang menjadi tempat Bapak mencurahkan isi hatinya sebelum Bapak pergi. Aku bersedia menjadi cerminnya, Man!”

2 thoughts on “Cermin

Leave a comment