Namaku Jack

berlin-biesdorf.JPG

 

 

Hey, siapapun! Mau dengar ceritaku tidak ? Cerita pengalaman hidupku yang aku yakin tak seorang pun dari kalian yang pernah mengalaminya. Kecuali kalau kalian sama denganku…

Namaku Jack. Aku, yang terlahir sebatang kara, menghabiskan hari-hari pertama dalam hidupku di sebuah penampungan sederhana di sudut kota lama. Sampai kemudian sepasang suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan mengadopsiku dan merawatku layaknya darah daging mereka sendiri. Papa dan Mama begitu mereka kupanggil. Beberapa waktu lamanya kami tinggal di sebuah rumah di tepi hutan tapi kemudian karena Papa pindah kerja ke daerah yang dekat lingkungan ini maka kami, atau tepatnya, Papa dan Mama memutuskan untuk pindah.

Lingkungan baru kami sungguh sangat menyenangkan. Itu kesan yang aku dapat ketika mobil Papa melewati pekarangan rumah para tetangga. Rumput hijau diselingi tanaman hias yang tersusun rapi terhampar indah di kanan-kiri rumah kami. Sinar matahari yang menembus ranting-ranting pohon mahoni membawa udara hangat yang membelai lembut kulit kami.

Ketika kami pertama kali pindah ke lingkungan ini, para tetangga menyambut kami dengan sangat ramah dan saat itulah saat pertama kali aku bertemu dengannya. Seorang gadis cantik berambut hitam lurus sebahu, bermata sayu menatapku dengan malu-malu dari belakang punggung kedua orangtuanya. Saat itu sejenak aku merasa yakin bahwa aku melihat dia tersenyum padaku. Sayang pertemuan pertama kami terjadi sangat singkat. Ketika aku akan memberanikan diri menyambut tatapannya, kedua orangtuanya mohon diri.

Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengannya karena Papa dan Mama memintaku untuk tinggal di rumah baru kami beberapa waktu selama mereka beramah tamah dengan tetangga sekaligus memastikan lingkungan baru kami tersebut cukup aman terutama bagi diriku. Mereka selalu menganggap lingkungan yang paling aman adalah di dalam rumah sedangkan keadaan di luar adalah sangat berbahaya bagiku. Papa dan Mama sangat memperhatikan keselamatanku karena mereka tidak ingin kehilangan satu-satunya “harta” mereka yang paling berharga dan aku sangat menghargai keputusan mereka. Walaupun aku merasa kekhawatiran mereka sangat berlebihan, lingkungan ini kupikir aman-aman saja.

Selang beberapa bulan, Papa dan Mama mulai mengijinkanku untuk keluar. Untuk bermain atau sekedar berjalan-jalan mengelilingi lingkungan baru kami. Wuih! Betapa senangnya hatiku ketika pada suatu sore, aku diijinkan keluar rumah untuk pertama kalinya. Sepanjang jalan tak henti-hentinya aku tertawa sambil berlari sekencang-kencangnya sambil menghirup udara segar dan wangi pepohonan yang selama ini hanya bisa aku nikmati dari balik jendela rumah. Semenjak itu, setiap sore, aku selalu menyempatkan diri untuk berjalan-jalan seorang diri mengelilingi lingkungan kami. Malah jika aku sedang bersemangat, sepanjang perjalanan aku melompat-lompat dan berlarian seperti orang kesurupan.

Sampai pada suatu sore, ketika aku sedang melakukan ‘ritual’ku berjalan-jalan keliling lingkungan, di tikungan terakhir menuju rumahku, aku melihat seorang gadis menyeberang jalan dengan tergesa-gesa sementara dari arah yang berlawanan, sebuah bis melaju kencang ke arahnya. Bahaya! Dengan panik aku melihat ke sekelilingku dengan harapan ada orang lain yang juga melihatnya dan kemudian memperingatkannya sebelum akhirnya ku sadari bahwa aku satu-satunya yang ada di situ. Akhirnya tanpa pikir panjang lagi kubawa tubuhku berlari secepat kilat ke arahnya dan sekuat tenaga berusaha menjangkau tubuhnya. Namun alih-alih mendorong tubuhnya, terjanganku hanya menerjang angin dan terjatuh menyenggol kedua kakinya sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Seluruh tubuhnya terjengkang ke trotoar di seberang sementara diriku terpental di sampingnya. Selamatlah dia ! Dentuman keras suara bis melaju kencang hanya beberapa jengkal dari tempat kami tergeletak. Sejenak kepalaku terasa sangat sakit dan ketika ku buka kedua mataku mendadak rasa sakit itu hilang. Wajah gadis itu tampak dekat sekali di depan wajahku dengan seulas senyum di bibirnya. Dan seketika aku merasa mengenali gadis ini.

Ya! Dia adalah gadis cantik berambut hitam lurus sebahu, bermata sayu menatapku dengan malu-malu dari belakang punggung kedua orangtuanya beberapa waktu yang lalu. Nampak jelas dia sangat mengkhawatirkanku walaupun dari ekspresi wajahnya aku tahu bahwa dirinya juga agak sedikit “kaget” atas kejadian ini. Dengan hati-hati dengan tangan kanannya dia membantuku berdiri sambil menanyakan apakah aku tidak apa-apa. Sementara tangannya yang lain sibuk menepiskan debu-debu jalanan yang mengotori pakaiannya. Namun sebelum sempat aku berkata sepatah kata pun, dia, dengan mata sayunya menatapku dan dari bibirnya keluar rangkaian kata yang beberapa saat kemudian aku resapi sebagai ucapan terima kasih atas pertolonganku. Lantas pergi meninggalkanku begitu saja, kembali dengan terburu-buru. Sungguh sebuah pertemuan kedua yang sangat luar biasa !

Ketika aku kembali ke rumah, Mama sudah menungguku di depan teras rumah. Sudah terlambat pulang agaknya aku kali ini. Ku lihat langit sore di belakangku dan seketika semburat cahaya oranye keemasan menyilaukan mataku. Sementara latar biru tua di baliknya menandakan malam sudah menjelang. Begitu Mama melihat luka-luka di sekujur tubuhku, terdengar pekikan tertahan dari mulutnya. Dengan sigap Mama menuntunku dan membawaku masuk ke dalam rumah. Di sofa ruang keluarga, Mama dengan cekatan membersihkan seluruh luka lecet di tubuhku dan membalut tanganku yang terkilir dengan perban putih halus. Mama tidak memarahiku, hanya diam, namun dalam diam itu aku menatap matanya. Dan ku lihat basah air mata mulai menggenangi kelopak matanya. Setelah kejadian itu, aku kembali dilarang meninggalkan rumah selam tiga hari berturut-turut. Dan pada sore hari ketiga, Mama membukakan pintu untukku sambil tersenyum dan berkata,

 

“Ayo, bermainlah…Tapi hati-hati, Anakku.”

 

Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar perkiraanku. Ketika aku mulai berlari menyongsong cahaya senja, aku menemukan gadis itu berdiri di trotoar seberang tikungan menanti kedatanganku. Dan pada saat tatapan matanya berhasil menangkap sosokku, seketika dia berlari menyambutku seperti pahlawan yang baru pulang dari perang. Selanjutnya dia memperkenalkan dirinya, namanya Amy, dia tinggal di sebuah rumah besar yang berada beberapa rumah dari rumahku. Menyusul kemudian celotehan cerita dari mulut Amy yang tiada hentinya sementara aku lebih memilih mendengarkannya. Dan aku sangat menyukai cerita Amy, cara dia berbicara, nada suaranya yang berirama sampai lengkingan tawanya yang lucu, semuanya semakin membuatku semakin khusyuk dengan posisiku sebagai pendengar.

Amy bercerita tentang seluruh hidupnya, tentang keluarganya yang sangat kaku, tentang Ayahnya yang jarang pulang tapi setiap pulang selalu membawa uang dan mainan yang banyak, tentang Ibunya yang sering mengajarinya memasak tapi selalu memarahinya ketika ia mulai mengacaukan segalanya, tentang bagaimana dia sering disuruh-suruh oleh ketiga kakak laki-lakinya untuk inilah, untuk itulah, dan kemudian terungkaplah bahwa pada waktu itu ia terburu-buru karena ia sedang menjalankan ‘tugas’ dari ketiga kakaknya itu . Juga tentang bagaimana seringnya ibunya mengingatkannya bahwa dia sebagai anak perempuan yang paling kecil harus selalu menuruti perintah kakak-kakaknya karena menurut ibunya mereka lebih banyak tahu darinya. Dari nada dia bercerita, aku tahu bahwa dia sangat kesepian dan dia sangat menikmati waktu-waktu bersamaku saat ini. Asal kalian tahu ya ! Aku juga merasakan hal yang sama. Bahkan aku mulai merasa bahwa aku…aku mencintainya. Semenjak pada pandangan pertama dulu.

Sejak saat itu, setiap sore di setiap harinya Aku dan Amy berjalan berdua mengelilingi lingkungan kami. Kadang berlari namun lebih sering berjalan ringan ke arah matahari yang beranjak pergi. Sepanjang perjalanan tak hentinya kami bermain, kadang saling mendorong, kadang saling berteriak, dan kadang saling berkejaran. Guguran daun mahoni kering berjatuhan mengiringi keriangan kami. Di satu kali kami berhenti sejenak di sebuah taman kecil yang penuh dengan bunga melati kemudian bergulingan diatas gundukan rumput yang dipenuhi taburan kelopak melati yang telah kering. Di lain kali kami berhenti di sebuah toko es krim dan Amy membeli sepotong es krim Mocca yang kemudian kami habiskan bersama. Aku tak pernah bisa membeli es krim sendiri karena Mama tak pernah memberiku uang jajan. Tapi justru pada saat memakan es krim itu berdua adalah saat yang paling membahagiakan bagiku karena terkadang bibirku begitu dekat dengan bibirnya, lidahku terkadang bersentuhan dengan lidahnya dan terkadang bibirku menyentuh bibirnya. Saat itu, wajahnya merona merah, mata sayunya mengerjap menggoda dan kami terdiam kikuk saling memandang. Namun setelah itu kami selalu tertawa lepas, menertawai kekikukan kami. Begitulah, saat-saat bersama Amy adalah saat yang paling membahagiakan buatku dan kalau aku tak salah mengartikan senyumannya, bahagia pula yang Amy rasakan. Karena kami saling mencinta.

Namun kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Sore ini ketika aku kembali dari berjalan-jalan, aku melihat banyak tetangga yang berdatangan ke rumahku. Mereka semua kelihatan sedih bahkan beberapa di antara mereka tak kuasa menahan air mata. Mereka semua berkerumun di pintu masuk yang membuatku kesulitan untuk segera masuk rumah dan mencari tahu ada apa sebenarnya yang terjadi. Dan ketika aku berhasil masuk, di ruang tengah aku melihat dua buah peti mati yang masih kelihatan baru. Sedangkan seisi rumah tampak berantakan seperti habis diterjang badai. Serta merta aku mendekat sehingga kemudian aku dapat melihat dengan jelas siapa yang berada di dalamnya. Di peti sebelah kanan yang berwarna hitam gelap tergolek tubuh Papaku sementara di peti sebelah kiri yang coklat tua terbaring tubuh Mamaku.. Papa dan Mama meninggal dibunuh kawanan perampok yang hendak menguras harta benda di rumah kami. Mereka datang mengobrak-abrik rumah kami, mengambil barang yang dianggap berharga dan secara biadab merenggut nyawa kedua orang tuaku. Aku hanya menunduk lesu dan meringkuk di sudut ruangan, menertawakan pendapat Papa dan Mamaku yang menganggap lingkungan di luar rumah itu berbahaya karena mereka pada akhirnya meninggal di dalam rumah kami sendiri.

Keesokan harinya, ketika aku berdiri sendiri di antara kedua pusara Papa dan Mama, sementara para tetangga satu persatu telah meninggalkan tempat pemakaman, ku lihat Amy dan ibunya tergesa-gesa berjalan ke arahku. Setelah mereka berada di hadapanku dapat kulihat dengan jelas wajah Amy yang sembab seperti habis menangis dan aku yakin bahwa dia sangat mencemaskan keadaanku aku tanpa keberadaan Papa dan Mamaku. Dari matanya aku tahu bahwa dia sangat takut kehilangan diriku dan begitu juga diriku. Amy adalah satu-satunya orang yang kusayangi saat ini setelah aku kehilangan Papa dan Mama. Aku sangat membutuhkan dirinya ada di sampingku. Sesaat kami bertiga terdiam tanpa mengucap sepatah kata pun sementara setetes air hujan terjatuh membasahi telingaku pertanda hujan akan segera turun. Suara Amy memecah keheningan, suara terindah yang pernah ku dengar mengucapkan hal terindah yang ingin ku dengar saat itu.

“Bu, boleh ya aku merawat kucing ini? Kasihan dia. Kata orang namanya Jack…”pinta Amy kepada ibunya. Ibunya tersenyum mengangguk dan Amy langsung mengendongku, membelai tubuhku yang sudah basah terkena air hujan yang mulai membasahi tempat pemakaman. Dan kami pun bersama-sama meninggalkan tempat itu.

One thought on “Namaku Jack

  1. Ending Yang Tak terduga…. Rangkaian kata2 / kalimatnya begitu Halus, Apakah ini menggambarkan Karakter Penulisnya?…. Btw, Kok Sosok “Kucing” yang di gambarkan dalam “karya” ini seolah2 digambarkan seperti karakter “manusia” yach ??…

Leave a comment